Minggu, 25 Maret 2012

RENUNGAN TENTANG TUHAN “?” (sebuah pemikiran sempit)

Dalam pencarian sebuah jati diri, “manusia” adalah entitas yang terdampar ke permukaan bumi, terdampar dalam sebuah dunia yang tak seorang pun tahu secara pasti darimana ia berasal. Pencarian akhir dari pencarian membuat manusia mau tidak mau percaya pada sebuah pencerahan  dalam kitab-kitap dan kepercayaan yang disebut agama. Manusia terombang ambing dalam nihilisme kehidupan yang tanpa kepastian, bingung pada penentuan benar dan salah, semua seakan relatif, tidak ada yang absolute benar. Pencarian karena kerinduan tentang sesuatu yang absolute, sebuah pegangan yang pasti, membuat manusia berpegang pada agama yang mana membuat manusia percaya pada Tuhan. Mempercayai Tuhan memberi manusia harapan untuk sebuah pencapaian, pada sesuatu yang abadi yang tentunya jauh dari nihilisme kehidupan dunia. “Tuhan” memberi manusia akan harapan, sebuah makna kehidupan, sebuah semnagat pencarian yang tampanya  manusia hanya hidup tanpa angan-angan, hidup dalam sebuah kekosongan, terjebak dalam rutinitas tanpa makna. Manusia hanya seperti sebuah benda atau mesin yang bergerak sehingga Tuhan tidak dipersoalkan lagi. Pada titik ini Freidrich Nietzche menyebutnya “God is Dead”. Tuhan sudah mati karena tidak pernah jadi persoalan, tidak pernah diperdebatkan, dan hilang begitu saja.
Namun titik yang disebut Nietzche ini seperti tidak akan pernah terjadi. Tuhan seprti menyatu dengan alam dimana manusia hidup. Tuhan akan selalu hidup dan menghidupkan. Manusia akan selalu merindukan Tuhan karena kelemahannya atau sebuah persoalan yang tak mampu terjawab logika. Pada tahun 1980-an di moskow, Mikail Gorbachev seorang atheis menyaksikan pertunjukan akrobatik pesawat tempur. Ketika dua pesawat nyaris bertabrakan, tanpa sadar dia berteriak, “Oh my god!”. Bahkan seorang atheispun meridukan Tuhan.
Sebuah pernyataan Audifax bahwa menariknya pembahasan tentang Tuhan adalah  “... Tuhan ada dimana-mana sekaligus Tuhan tidak ada dimana-mana.” Atas nama pembelaan Tuhan, berapa banyak pertumpahan darah terjadi?. Peperangan terus dilakukan atas nama Tuhan. Tuhan yang mana?, Para ateism tertawa melihat kekonyolan ini, “peperangan atas nama Tuhan”, sementara Tuhan hanya ilusi, sesuatu yang tidak ada. Sementara bagi yang masih merindukan Tuhan, menganut pluralisme, tidak ada Tuhan ini dan Tuhan itu, semua agama adalah sama, perbedaan agama hanya menimbulkan pertumpahan darah yang tak seharusnya terjadi. Karena sejatinya Tuhan adalah satu. Kepercayaan pada tingkat pluralitas ini membuat Tuhan yang tidak pasti. Tuhan hanya sekedar semangat yang menyemangati seperti utopia yang membuat kehidupan bermakna. Sebuah pelarian dari nihilisme kehidupan. Atau sejatinya “ketidak pastian Tuhan” itulah ”Tuhan yang pasti”, karena ketika Tuhan telah dipastikan, terkonstruksi dalam sebuah bahasa, maka makna Tuhan menjadi terlalu sempit. Sebaliknya ketika Tuhan telah termaknai maka kata “Tuhan” menjadi tidak lagi penting. Bagi para penganut agama yang fanatik tentu saja pluralisme tidak benar.
Ketika perang, pertumpahan darah, sementara pembelaan atas nama Tuhan terus dilakukan, apa yang dilakukan Tuhan?, tetap diam, tertawa, menangis, atau manusia mulai membayangkan rupa Tuhan yang tentu saja logika manusia tak akan mampu mencapainya. Pemikiran manusia akan rupa Tuhan hanya akan mereduksi Tuhan,  menghadirkannya dalam bentuk simbol, benda, kalimat, yang mampu dipahami manusia. menjadikanNya sebuah sesembahan yang disembah. Do’a dilakukan sebagai pujian, permohonan pada sesuatu yang berwujud dan tak hidup. Sekedar pemuasan batin, pelarian dari kelemahan, sebuah pegangan. Penyemangat dalam ketidakpastian. Bukan penyatuan diri dengan Tuhan.
Sementara pembelaan Tuhan terus dilakukan, ribuan pertanyaan bermunculan. Apakah Tuhan butuh dibela?. Atas alasan apa?. Apakah Tuhan akan mati jika tidak dibela?, dan apakah ini artinya Tuhan membutuhkan manusia untuk tetap hidup?. Bagaimana mengartikan Tuhan yang hidup?. Apa Tuhan hidup karena selalu diperdebatkan dalam suatu pertikaian?. Kenapa harus bertikai?, apa karena manusia yang selalu dalam pencarian akan Tuhan?. Lalu bagaimana jika pencarian telah usai?, Tuhan telah ditemukan dan tidak adalagi pertikaian?, apa Tuhan akan mati?, dan seterusnya akan tetap menjadi pertanyaan dengan jawaban yang masih berwujud pertanyaan, “kapan pencarian manusia akan Tuhan itu usai?”. Dalam hukum alam selalu ada siang-malam, atas-bawah, materi-amateri. Berlakukah hukum ini terhadap Tuhan?, yakni “Tuhan ada karena adanya makhluk”. Jika makhluk tidak ada (Tuhan tidak menciptakan makhluk) maka dimanakah istilah “Tuhan”?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar