Minggu, 25 Maret 2012

Kuliah dua kali 30 menit mata kuliah PKN

Dalam mata kuliah umun kewarganegaraan yang saya ikuti, diisi oleh pak zainal abidin dari fakultas hukum unsyiah. Kuliahnya baru dua kali dengan durasi waktu 30 menit.
Kewarganegaraan (PKN) merupakan sebuah rezim civility adalah reinkarnasi dari kewiraan yang merupakan rezim ketentaraan. Dulunya pada masa orde baru, PKN disebut dengan mata kuliah kewiraan, berbasis militer dan pendidikan dilakukan dengan prinsip-prinsip ketentaraan. Hal ini sesuai prinsip pemerintahan yang diktator. Seiring waktu karena probem-problem yang dihadapi maka lahirlah prinsip demokrasi di indonesia. Lahirnya demokrasi menghapus pola pendidikan berbasis militer yang  tercermin dalam pendidikan kewiraan dan digantikan dengan pendidikan kewarganegaraan sebagai formalitas dan simbolis mendidik masyarakat dan generasi muda yang cinta tanah air.

Adapun objek sasaran PKN terbagi menjadi dua, yaitu negara dan bangsa. Negara dengan kosep politik, artinya konstruksi sebuah negara didasari pada komitmen politik. Karaen atas dasar komitmen, maka negara bersifat labil. Yang kedua adalah bangsa dengan konsep kultural, artinya bangunan kebangsaan digagas atas kesamaan-kesamaan sehingga bersifat stabil. Pembahasan kali ini dibahas tentang sasaran pertama yaitu negara.
Wujud suatu negara adalah wilayah. Negara lahir dari kesepakatan bersama yang didasari kebutuhan untuk hidup bersama, guna mencapai ketentraman dan keamanan, suatu wadah untuk berlindung. Hadirnya suatu negara karena ada komitmen politik. Awalnya negara lahir di yunani, yaitu sparta dan athena. Kedua negara ini didirikan diatas bukit (gunung), degan alasan supaya terlindungi, sesuai dengan kesepakatan dan tujuan mendirikan negara adalah mencaman ketentraman melalui perlindungan, secara bersama. Antar negara selau terjadi persaingan. Dahulu, siapa yang kuat secara fisik negara tersebutlah yang menang. Pada era modern, budaya tersebut bertransformasi menjadi siapa yang kuat secara ekonomi, maka dialah yang berkuasa.
Begitu pula dengan negara indonesia, lahir karena komitmen politik dari masyarakat. Ditandai dengan sumpah pemuda sebagai keinginan hidup dalam sbuah wadah bernama NKRI yang dulunya bernama Hindia-Belanda. Secara literasi (secara ilmiah)  bahasa indonesia lahir di aceh dalam buku-buku ilmiah yang ditulis dalam kitab-kitab dengan huruf arab-jawo berbahasa indonesia. Karena dulunya pada masa sultan iskandar muda, aceh adalah sebuah kerajaan islam yang kuat yang merupakan kiblatnya ilmu pengetahuan (pusat keilmuan). Walaupun secara historis bangsa indonesia lahir dari kerajaan-kerajaan melayu.
Setelah suatu negara berdiri dan diakui, maka ditetapkanlah hukum-hukum yang mengatur dan mengikat. Adapun syarat sebelum hukum ditetapkan adalah kualitas masyarakat harus suah baik, baik secara moral maupun sosial. Sehingga tidak terjadi yang namanya hukum hanya untuk simiskin, tidak si kaya. Hukum lebih memihak orang-orang kaya yang memiliki kapasitas ekonomi/politik yang tinggi dibanding si miskin yang tak punya apa-apa. Terdapat dua pemahaman mengenai hukum. Yang pertama, hukum sebagai balasan/ganjaran terhadap kesalahan. Pehaman seperti ini sering dianggap tidak manusiawi. Namun bagi masyarakat agamis yang menganut pemahaman ini, hukum seperti inilah yang benar. Yang kedua hukum sebagai pembinaan/pendidikan. Hukum diberikan sebagai pelajaran dengan harapan yang dihukum akan menjadi lebih baik setelah mendapat hukuman. Dari segi humanis, sistem seperti ini lebih berperikemanusiaan.
Kewarganegaraan perlu pembinaan, salah satunya adalah melalui pendidikan formal yang biasa disebut PKN. Tujuannya adalah membangkitkan semangat nasionalisme dan cinta kepada negara, agar negra tidak pecah. Menurut plato, negara tidak ada yang abadi, karena didasari oleh komitmen. Maka negara bersifat labil. Secara transendensial, negara dipandang sebagai dunia, sifatnya adalah nisbi, tidak ada yang abadi melainkan Tuhan. Secara empirik negra bersifat kembang kuncup, kadang-kadang maji, kadang-kadang mundur. Ada dua cara membangun kesetiaan kepada tanah air yang sudah dialami indonesia, yaitu pada masa orde baru, kesetiaan dibangun atas dasar rasa takut, dan pada masa demokrasi, kesetiaan dibangun atas rasa cinta. Namun agaknya kesetiaan dengan rasa takut lebih ampuh, bayangkan saja ketika tujuh belas agustus, berapa banyak yang menaikkan bendera atas dasar rasa cinta, bukan atas dasar rasa takut karena didenda atau dihukum. Sepertinya hanya sedikit, dan faktanya memang hanya sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar