Kamis, 19 Januari 2012

Sosial dan Budaya dalam Arsitektur dan Urban Design

Tulisan ini saya tulis sebagai ringkasan kuliah tamu yang diberikan Prof. Gunawan Tjahjono pada tanggal 5 oktober 2011 di universitas syiah kuala. Jika hasil kuliah ini ditulis oleh seseorang yang paham dan benar-benar mengerti tentang apa yang disampaikan saya yakin bahwa apa yang disampaaikan prof. Gunawan Tjahjono dalam durasi 3 jam ini melingkupi isi buku yang jika ditulis akan lebih dari 400 halaman. Karena apa yang disampaikan Prof. Gunawan Tjahdjono sangat luas dan beragam, mulai dari nilai-teori-arsitektur-asal mula arsitektur-tema-sampai ke simtem pendidikan studio di arsitektur Universitas Indonesia saat ini. Sayangnya simpulan yang dapat saya pahami begitu dangkal, karena dalamnya apa yang disampaikan, hanya sedikit yang membekas dimemori saya, dan jujur saja dengan minimnya wawasan dan pengetahuan yang saya miliki saat ini, saya belum mampu menangkap sebagian besar isi kuliah ini, dan samapi saat ini saya masih bertanya-tanya dan terus menggantung dipikran saya. sehingga saya hanya mampu menuliskannya dalam sangat sedikit halaman yang  pastinya tidak cukup meringkas dan menjelaskan semua yang telah disampaikan Prof. Gunawan Tjahjono.

Adapun pada kuliah tersebut, tema yang diberikan prof. Gunawan Tjahdjono adalah  “social dan budaya dalam arsitektur dan urban design”. Awalnya Prof. Gunawan Tjahdjono membahas tentang budaya dan kaitannya dengan perilaku dan nilai, bagaimana nilai mempengaruhi arsitektur dan urban design, atau apa jadinya arsitektur tanpa nilai. Sebelum melanjutkan pembahasannya Prof.Gunawan Tjahjono  berhenti dengan memperlihatkan gambar seorang pria tua dalam kendi, setengah badan pria tersebut keluar dari kendi, posisi kendi telah berputar 45 akan jatuh. Kendi tersebut telah retak dan terlihat bekas tempelan pada salah satu sisi. Pria tua tersebut memegang tongkat ditangan kirinya, dan telunjuk kanannya menunjuk kearah bawah. Prof. gunawan Tjahjono terus berspekulasi dan bercerita tentang gambar tesebut, kenapa dan kenapa gambar tersebut digambar demikian, apa maknanya? Dan apa nilainya?. Setelah panjang bercerita tentang gambar tersebut, prof. Gunawan Tjahdjono menanyakan pada peserta kuliah, “percayakah anda pada apa yang saya ceritakan tentang gambar ini?”. Bagian atas dari gambar tersebut  prof. Gunawan Tjahjono telah menuliskan “Teori Arsitektur”.  Kemudian prof. Gunawan Tjahjono berkata “Kalau anda percaya dengan cerita saya tadi, maka cerita saya tadi adalah Teori”.
Prof. Gunawan Tjahdjono melanjutkan slide persentasi selanjutnya yang bertuliskan “apa itu arsitektur?”. sebuah pertanyaan yang menurut saya hampir selalu kita dengar dan kita lontarkan dimana-dimana, namun anehnya pertanyaan ini selalu menjadi pertanyaan yang menarik untuk dilontarkan. Prof. Gunawan Tjahdjono mengatakan, “saya tidak akan memberikan definisi mengenai apa itu arsitektur, bahasa saya belum mampu untuk mendefinisikannya, lagi pula setiap orang mungkin akan mendefinisikannya dengan kalimat yang berbeda, dan ada sekitar 15 definisi arsitektur yang telah ada”. Namun, Prof. Gunawan Tjahdjono lebih tertarik membahas tentang “Kapan arsitektur dimulai?”. Definisi’ kapan” bagi Prof. Gunawan tjahjono adalah “cikal-bakal”, sehingga apa yang dibahas prof. Gunawan tjahjono adalah “apa yang menjadi cikal-bakal arsitektur”. Prof. Gunawan tjahjono menujukkan gambar sarang rayap, kemudian bertanya, “Kira-kira, kapan rayap telah mampu membuat sarang yang seperti itu?”, pada saat itu, apakah manusia mampu membuat bangunan yang seperti itu?, bandingkan dengan ukuran tubuhnya, kira-kira itu bangunan tinggi berapa lantai?. Adapun yang membedakan rayap dengan manusia adalah budaya. Rayap tidak memiliki budaya, kapan rayap mampu membuat sarang, saat ini dianggap tidak begitu penting karena sampai sekarang rumah rayap masih tetap sama. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya kemampuanya dalam berkarya terus berkembang dari kemampuan awalnya yang sangat terbatas, sekarang telah mampu membuat bangunan tinggi yang setara dengan rayap, dan kedepannya mungkin akan lebih.
Berbicara tentang cikal bakal arsitektur, Prof. Gunawan Tjahdjono mengatakan dalam ‘ten books of architecture” oleh Vitruvius, bab 2 tentang  Rumah pertama, Vitruvius menuliskan, arsitektur bermula dari api yang mengumpulkan manusia. Dalam sebuah gambar tentang tipologi atap, ada sebuah gambar adam ketika diusir dari surga adam sedang berlari kehujanan, adam menutup kepala dengan tangannya sehingga membentuk segitiga untuk berlindung, selanjutnya segitiga ini lah yang menjadi cikal bakal typologi atap. Prof. Gunawan Tjahdjono tampaknya tidak begitu yakin dengan typologi adam ini, karena tidak ada yang tau pasti apakah awalnya atap memang berbentuk segitiga?, ada beberapa atap primitive yang bentuknya malah bundar. Kata primitive bagi prof. gunawan tjahjono bukan mengejek atau merendahkan, tapi primitive dalam maknanya adalah “menghargai”. Prof. Gunawan Tjahdjono menunjukkan sebuah gambar yang menurut saya itu adalah gambar menusia purba yang sedang berkumpul, ditengahnya terdapat api, api tersebut dikelilingi rumah primitive berbentuk segitiga, kalau saya tidak salah mengingat, hunian-hunian ini berorientasi kearah api. Prof. Gunawan tjahjono menjelaskan mengapa hunian primitive  di afrika ini  memiliki satu bukaan kearah depan, dan pada gambar selanjutnya, hunian primitive ada yang memiliki dua bukaan dari arah depan dan belakang, masing-masing ada maknanya, tapi sayangnya saya tidak begitu ingat kenapa alasannya demikian. Prof. Gunawan Tjahdjono mengatakan “Sekarang kita sudah terlalu jinak, kita sudah kurang peka terhadap alam”. Dari awalnya dalam berlindung, manusia membuat klasifikasi simbolik, mengisolasikan diri dari alam yang begitu luas.
Selanjutnya, arsitektur itu apa?, berasal dari kata archi yang berarti kepala, dan tekton yang berarti tukang. Dalam paparannya tentang ini, prof.Gunawan tjahdjono memperlihatkan sebuah situasi  masyarakat yang sedang membangun rumah, pada foto terlihat seorang pria tua sebagai kepala tukang sedang mengawasi pembangunan rumah. Dalam proses pembangunannya, rumah tersebut didirikan oleh kumpulan manusia dalam berbagai usia, dari pemuda, orang tua, bahkan anak kecil saja sudah merasakan proses arsitektur. Dalam kehidupan bermasyarakat, mereka membangunnya bersama-sama. Dalam sebuah buku “Shelter”, arsitektur berarti membangun, mendirikan, artsitektur mengumpulkan manusia dan menciptakan ruang. Dalam sedikit guyonanannya, prof. Gunawan Tjahjono mencoba mendefinisikan kembali tentang kata “rajin”, beliau bertemu seorang tukang kayu yang sedang membuat pintu,  si tukang kayu terlihat begitu lama dengan mengerjakan pintu tersebut, karena tidak sabar beliau berkata, “kok lama sekali?, itu sudah bagus”. Kemudian si tukang kayu berkata, “tapi ini belum rajin pak”. Saat itu prof. gunawan tjahjono menyadari, makna kata rajin, tidak berarti seberapa keras, seberapa cepat, seberapa lama seseorang bekerja, namun, makna kata rajin bagi tukang yang sesungguhnya adalah ‘pencapaianan sebuah mutu’.
Dalam pengalamannya tentang rumah-rumah orang samir, prof.Gunawan Tjahjono sedikit bercerita bahwa orang samir tidak membangun rumah tradisionalnya lagi karena pihak PU mengatakan rumah tradisional samir tidak sehat. Padahal, rumah tradisional samir adalah rumah nafas, tradisi menanam pohon, dan banyak lagi yang lainnya dipaparkan prof. Gunawan Tjahjono, namun tradisi-tradisi tersebut sudah banyak bergeser, hilang dan dilupakan. Saat ini pada masyarakat samir, masih terdapat dua rumah samir yang dibangun masing-masing oleh dua orang sarjana master yang menyadari akan makna rumah samir. Prof. Gunawan Tjahjono mengatakan, “Pergeseran budaya akan terus terjadi”. Dulu, tradisi banyak anak cukup berkembang dan sangat diterima, karena masa itu adalah masa perang. Dari sekian banyak anak yang dilahirkan, hanya sedikit yang mampu bertahan. Kalau sekarang, kejadiannya akan berbeda, sehingga tradisi banyak anak sedikit demi sedikit semakin dilupakan. Ketika kita berdiri dibawah pohon yang besar, kita merasa merinding, alasannya dalam pikiran kita seolah terbayang akan ada sosok jin yang menghuni pohon itu. Selanjutnya saat ini dalam ulasan ilmu pengetahuan tenyata medan elektro magnetic disekitar pohon yang besar medan elektromagnetiknya semakin kuat, sehingga waajr saja kita merasa merinding. Disini, kedua kasusnya adalah sama-sama nilai. Prof. gunawan tjahyono mengatakan “Jangan mengartikan nilai hanya sebatas mistik, nilai juga bisa bersifat scientific”.
Pembahasan mengenai arsitektur, Prof. gunawan tjahjono banyak membahas mengenai karya-karya arsitektur baik yang sudah dibangun maupun yang masih berupa gambar. “Arsitektur harus memiliki jiwa, dengan jiwa, manusia merayakan karya arsitektur”. Di india, daerah yang kekurangan air, air sangat dimuliakan, manusia merayakannya dengan membangun bangunan yang amat megah hanya untuk air, karena betapa mulia dan bernilainya air, air turun dari atas ke bawah. Louis Khan, bahkan ketika berkarya Louis khan mengajak bata berbicara, bertanya tentang apa maunya bata?, bata tersebut ingin dibuat menjadi apa?,  selanjutnya Louis Khan baru memutuskan akan seperti apa bangunan itu. Ini memang terdengar gila, irrasional, namun ini terjadi. Hal seperti inilah yang membuat bangunan berjiwa dan dirayakan oleh manusia. Salah satu bangnan yang dirancang Prof. Gunawan Tjahdjono adalah gedung rektorat UI. Sekilas, bangunan ini terkesan biasa-biasa saja. Namun hal apa yang membuat gedung rektorat ini cukup iconic. Prof. Gunawan Tjahdjono mengatakan, disinilah peran jiwa dalam arsitektur.
Mengenai arsitektur, Prof. Gunanwan Tjahdjono mengakui sangat sulit menjelaskan tentang arsitektur. Karena arsitektur itu sendiri tidak berwujud, arsitektur hanya ada dalam hati dan pikiran. Yang bisa kita lihat bukanlah arsitektur, tapi the work of architecture, event of architecture.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar