Kamis, 19 Januari 2012

Pudar Terang Situs Aceh (Sebuah tulisan berputar-putar)

Keragaman situs (tempat) di Aceh yang masih ada maupun yang telah terbungkam waktu memperlihatkan keragaman arsitektur yang melekat di Aceh itu sendiri. Merujuk kepada arsitek arkeolog Prof. Ir. VR.Van Romondi (1952), “Jatuh bangunnya suatu kebudayaan dapat dipastikan akan diikuti oleh arsitekturnya.” Sehingga, mengkaji mengenai Arsitektur Aceh tidaklah sebatas sekedar pemahaman akan arsitektur tradisional dalam wujud rumah aceh yang lebih dikenal saat ini. Namun, dibutuhkan pengkajian kembali akan sejarah perkembangan kebudayaan yang melekat di Aceh sebelum dan setelah langgam arsitektur tradisional terwujud.

Memahami kebudayaan meliputi usaha pengkajian masa lalu dalam waktu sebagai usaha pencarian jati diri, timbul dari tradisi lokal dan respon terhadap tradisi pendatang. Arsitektur Aceh dalam konteks kebudayaan awal mulanya terbentuk dari usaha merespon alam (iklim dan topografi). Diikuti dengan respon filosofis akan keberadaannya, tercermin dalam bentuk dan ornament yang dipengaruhi oleh faktor kepercayaan (agama dan adat). Respon alam dan filosofis telah mewujudkan suatu arsitektur yang khas dan kompleks, tidak hanya melalui bentuk dan ornament, tapi juga fungsi dan strukturnya. Karena itu, meskipun ragam arsitektur pendatang yang muncul di aceh (India, Belanda, dan Eropa), tidaklah rangam arsitektur tersebut muncul secara murni, namun telah mengalami adaptasi terhadap konteks local, sehingga ciri khas dari arsitektur aceh dalam fungsi dan wujudnya tetap terlihat.
Dalam sejarah perkembangannya, Arsitektur yang berbudaya yang terbentuk di Aceh berawal dari arsitektur hindu dalam wujud candi (filosofi gunung). Selanjutnya ketika islam masuk ke Aceh arsitektur hindu perlahan tergantikan oleh arsitektur islam. Arsitektur islam bukanlah gaya arsitektur yang terbatas pada gaya tertentu. Tetapi hanya memiliki prinsip-prinsip dasar dan selalu tanggap terhadap konteks lokal. Sehingga filosofi gunung dalam arsitektur islam di aceh tetap terlihat. Lagi pula, Kondisi atap yang membentuk gunung cukup tanggap terhadap kondisi iklim di aceh saat ini.
Seiring  perjalanan waktu, komunikasi dan transportasi semakin cepat dan teknologi semakin maju. Kekuasaan islam yang dulunya menjadi kiblat kebudayaan telah tergantikan oleh dunia barat dengan langgam modernisme. Langgam ini lebih mengutamakan rasionalitas sehingga nilai-nilai yang telah tertanam sebagai jati diri asritektur aceh cenderung terabaikan. Langgam arsitektur modern berbasis kepada fungsionalitas. Pada realita yang ada, tidaklah demikian halnya yang terjadi di Aceh saat ini. Langam modern lebih didefinisikan bahkan diwujudkan secara awam sebagai trend belaka. Sama sekali tidak respon terhadap konteks budaya dan kondisi fisik lokal. Gaya arsitektur yang tewujud di aceh saat ini tampaknya telah kehilangan jati diri. Sigfried Giedeon dalam bukunya ‘Space, time and architecture menuliskan “Suatu hubungan dengan masa lalu, adalah persyaratan untuk munculnya tradisi baru yang mantap dan utuh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar