“subhanallah.. jika suara azan seorang santri saja seindah ini, bagaimana dengan sura bilal yang katanya paling indah?”, kata syarifah tanpa sengaja. Teman-teman sekamarnya Fakinah, Mala, dan Marlisa tersenyum, “siapa dulu dong... sayed...hahaha..”, kata marlisa menggoda syarifah. Fakinah dan mala ikut tertawa dan menggoda syarifah, “sudah ah.. apa-apaan sih, mana aku tau kalau itu suara sayed..”, marlisa balik menggoda, “terus kalau suara sayed memangnya kenapa?, eheemm...”. Kehabisan kata syarifah berkata, “huss.. udah ah mending kita wudhu’ dan segera ke mushola, ntar telat lagi..”. syarifah pun pergi berwudhu diikuti tiga temannya itu, “iya deh.. iya ustazah..”, kata teman-temannya menggoda.
Tahun demi tahun berlalu, tiga tahun sudah syarifah dan sayed menjadi santri, ini adalah tahun ke empat, tahun terakhir. Bak romansa cerita remaja pada umumnya, rasa benci menjadi cinta. Diam-diam syarifah jatuh cinta pada sayed, sayed pun sebaliknya merasa jatuh cinta kepada syarifah. Namun rasa tetaplah rasa, tak pernah terucap menjadi kata.
Sayed duduk murung di mushola, lirih melantun al-qur’an, ustad masdar yang kebetulan lewat memperhatikan sayed,
“Yed,, akhir-akhir ini ustad perhatikan kamu kog sering murung sih? Kenapa??”,
“emmm... ga kenapa-kenapa kog ustad, ohya, saya ingin bertanya ustad, apa hukumnya kalau kita merasa seperti mencintai seorang akhwat dan terus memikirkannya ustad?”.
tersenyum ustad masdar menjawab, “oh.. itu masalahnya, sebagai manusia, itu manusiawi kog, selama dalam rasa itu tidak ada nafsu, dan tidak mengotori hati, dan tidak melebihi rasa cinta kepada Allah dan RasulNya, maka itu tidak masalah, namun jika rasa itu berlebihan maka itulah zina hati, hilangkan rasa itu dengan runtinitas dan perkuat ibadah..”, “mmm.. ngomong-ngomong siapa toh gadis itu...?”, lanjut ustad masdar menggoda sayed.
Sayed tertegun, tesipu malu dan tak mampu berkata.
“hehe.. ustad cuma bercanda.. oh ya, ustad harus mengisi kelas tambahan bahasa arab, ustad tinggal dulu ya..”
“iya ustad,, terimaksih nasehatnya ustad..”, ucap sayed.
Di sudut lain pesantren, syarifah sedang menyapu halaman asrama. Pandangannya kosong, sapu lidi yang diayunkan bergerak hanya disitu-situ saja sampai sisi tanah yang tersapu terkurug dalam dari sisi tanah yang lain. Mala, fakinah, dan marlisa yang memperhatikan syarifah iseng mengagetkannya.
“Dhuar...!!”
Syarifah kaget, panik bukan main.
“astagfirullah.., kalian ini apa-apaan sih?, kurang kerjaan apa?, kalau aku jantungan terus pingsan gimana?”
“Udahlah ipah, daripada kamu bengong terus mending kamu bilang aja langsung ke sayed kalau kamu itu suka sama dia”, kata marlisa memberi saran.
“apa?, aku ga mikirin sayed kog.. lagian mana ada yang seperti itu?, mana harga diriku kalau tiba-tiba aku bilang kalau aku suka sama dia”, syarifah mengelak.
“Jaman sekarang kog masih pake gengsi. Kan kamu sendiri yang bilang sekarang itu jaman emanisipasti, wanita sama aja dengan laki-laki, wanita ga harus nunggu laki-laki terus yang duluan, aku yakin kog sayed juga pasti suka sama kamu. Apa perlu kita yang bilang ke sayed kalau kamu suka sama dia?”, Mala menambahkan.
“Emansipasi kali.. tapi jangaaaaannnnn.. nanti deh, aku pikirin dulu saran kalian”, sahut syarifah.
Sayed, sendirian menapak mengitari pekarangan pesantren sambil terus memikirkan nasihat ustad masdar, indahnya pekarangan pesantren seolah tak lagi terasa, rumput hijau seolah abu-abu, kicauan burung tak lagi terdengar, seolah berjalan diruang kosong yang hampa, seraya berkata dalam diri, “ya Allah.. aku tak salahkan engkau ciptakan hati ini sehingga terselip sebuah rasa, jika salah aku selipkan rasa dalam hati, itu salahku, maka ampunilah aku, tak layak aku penuhi rasa di hati yang seharusnya hanya untukMu ya Allah.. jika dia memang jodohku kelak, maka dekatkan ia nanti pada waktunya, jangan biarkan aku menzolimi hati dan diri, bantulah aku melupakannya ya Allah..”
Seiring berputarnya bumi, waktu terus berjalan, sayed dan syarifah yang dulunya saling benci sekarang terlihat cukup akrab walaupun berulang kali sayed selalu bersaha menjauhi syarifah, namun hati menguasai diri dan kelabu tak mampu dibatasi. Gejolak hati keduanya begitu kuat. Tak sanggup membendung hati, rasa cinta yang menguasai, syarifah memberanikan diri menulis sepucuk surat pada sayed, diselipkannya surat itu dalam tas sayed dikelas saat tak seorangpun yang melihatnya. Sayed membuka tasnya di kamar asrama, ditemukannya sepucuk surat.
“ Betapapun surga itu nikmat, namun tak sempurna kenikmatan yang dirasa Adam sebelum Allah ciptakan Hawa dari tulang rusuknya. Kalau itu yang kau rasakan, aku selalu berharap menjadi tulang rusukmu. ketika adam hilaf berbuat dosa memakan buah khuldi, maka hawa ikut dengannya. Akupun akan melakukan hal yang sama jika kau adalah adam. Namun jika aku bukanlah yang kau pilih, dan suatu saat aku tidak sanggup memenuhi pilihanmu, maka aku relakan engkau layaknya sarah yang merelakan ibrahim dengan hajar.
Minggu depan perpisahan, berakhir sudah masa kita menjadi santri, mungkin kita tak akan berjumpa lagi, kelak kau akan berkelana mencari ilmu entah ke negri mana, aku bersedia menunggu, sampai kapanpun, bahkan sampai mati..”
-selalu berharap menjadi tulang rusukmu,
syarifah
Membaca surat itu sayed begitu sedih, air matanya mengalir, emosinya bermain, diremasnya surat itu, dan terus dia larut dalam kesedihan bagaikan terpukul. Bukan karena dia tak mengharapkan apa yang diinginkan surat itu, namun dia takut tak mampu membatasi hati sampai larut dalam cinta yang salah, cinta kepada seorang anak manusia melebihi cintanya dalam do’a dan ibadah kepada sang Khaliq.
Berhari-hari syarifah menunggu balasan dari sayed, namun sayed tak kunjung membalas, bahkan berhari-hari itu syarifah tidak bertemu dengan sayed, walau bertemu sayed selalu berbalik dan menghindar. Sampai tiba hari terakhir, hari perayaan perpisahan. Ini kesempatan terakhir bagi syarifah untuk menuai balasan sayed. Memberanikan diri syarifah memanggil sayed, diajaknya bertemu di taman pesantren, sementara yang lain sedang merayakan perayaan.
“sayed, kamu terima surat dari aku kan?”
Tanpa menatap syarifah sayed hanya mengangguk.
“terus gimana?”, tanya syarifah
Tak menjawab sayed langsung pergi meninggalkan pembicaraan.
Syarifah yang terheran menyusul sayed, dengan keras berkata, “Sayed.. apa susahnya sih jawab iya atau enggak?, itu aja??”
Sayed tertegun dan berkata, “seharusnya kamu udah tau jawabannya, kamu seorang santriwati, seorang akhwat, anak seorang ulama besar, seorang yang paham agama. Pantaskah seorang akhwat merendahkan diri dan hatinya dengan menulis surat surat cinta kepada seorang ikhwan?, pantaskah seorang akhwat yang terhormat menginjak martabatnya, membiarkan dirinya larut dalam kemaksiatan hanya demi cintanya kepada seorang ikhwan?, betapa hinanya wanita yang seperti itu.. tidak hanya dirinya sendiri, dia juga telah menghinakan nama baik keluarganya dan juga agamanya..“
Berbinar mata syarifah mendengar ucapan sayed, air matanya mengalir tak tertahankan. Sayed langsung berbalik arah berjalan juga sambil mengalir air matanya, hatinya berbisik, “maafkan aku syarifah, aku tak bermaksud menyakiti hatimu, sungguh tak ada niat sedikit pun untuk menyakitimu. Tapi hanya dengan menyakitimu, aku bisa membuat kau membenciku. Aku hanya tak ingin kita terperangkap dan larut dalam dosa. Kelak kalau kita berjodoh, biarlah Allah yang mempersatukan.
-to be continued...
hehe,,good writing...kebetulan nama saya disebut2,,,trims telah mempromosikan,,perihal emncintai antar sesama adalah kodrati manusia,tak terkecuali antara pria dan wanita,,cuma ,,yang jadi amsalah adalah abgaaimana memanage cinta agar seturut dengan rambu2 yang sudah ditetapkan oleh agama dan juga adat tempatan..Cerita cinta ketika diuatarkan emmanglah tak akan habis2nya,,mulai dari zaman beuhela, hingga era kiwari kini sudah ribuan bahkan jutaan kisah ditorehkan hingga jadi inspirasi sejarah zaman..adam hawa, shinta rahwana, laila majnun, juliet dan romeo. Kebetulan perihal erita cinta dengan sangat halus dieritakan oleh buya Hamka dalam roman tenggelamnya kapal vandewijk dan di bawah lindungan Ka'bah. Dibawah lindaungan ka'bah adalah cerita cinta yang berlatar, bduaya Minangkabau awal abad 20 yang masih kuat memagang adat dan aturan agama. Dengan indahnya buya Hamka, bisa melukiskan sebuah rasa cinta yang dibungkus dengan nilai2 religius, dalam hal ini Agama Islam..kebetulan film dibawah lindungan ka'bah sudah direalese lebaran kemaren..cobalah meonoton, dan lebih2 membaca roman karya2 Buya Hamkah..
BalasHapus